Fenomena Fiqih

Oleh: RizqonMuharam*

Fiqih secara bahasa berasal dari kata فقه-يفقه faqaha-yafqahu yang berarti memahami, sedangkan secara istilah adalah 

مجموعة الأحكام الشريعة العملية المنفدة من أدلة التفصيلية
“Kumpulan hukum-hukum syariat yang bersifatperbuatandhohir yang digalidaridalil-dali yang terperinci”.

Dari penjelasan diatas ruang lingkup fiqih adalah perkara-perkata yang membahas keabsahan suatu ibadah dhohir hamba Allah.Akan tetapi ada fenomena khas yang terjadi dalam kajian fiqih ini dan merupakan urgennya untuk mempelajari ilmu ini agar ibadah yang dilaksanakan menjadi maqbulah.

Fenomena tersebut adalah fleksibilitasnya perkara fiqih berdasarkan kondisi masyarakat dalam melaksanakan ibadah tertentu. Hal ini dapat terjadi karena perkara fiqih mencangkup ibadah amaliyah yang berhubungan dengan kondisi fisik pelaksana, maka penghukuman terhadap perkara fiqih seorang muslim akan berbeda dengan muslim lainnya. 

Misalnya pelaksanaan hukum-hukum fiqih di daerah tropis akan berbeda dengan didaerah gersang atau kutub. Bahkan perbedaan pelaksanaan hukum-hukum fiqih dalam satu teritorial tertentu yang secara geografis maupun budaya memiliki banyak kemiripan juga dapat terjadi perbedaan. Hal ini terjadi disebabkan oleh bermacam-macamnya referensi (ulama) yang dijadikan patokan dalam memahami perkara fiqih tertentu.

Jika dikaji mengapa terjadi perbedaan dari kalangan ulama fiqih, maka akan didapatkan beberapa sebab yang bersifat manusiawi dan merupakan bukti rahmat Islam kepada pemeluknya. Sebab perbedaan dikalangan ulama fiqih antara lain:
  1. Perbedaan dalam mengambil hadits yang dijadikan rujukan hukum
  2. Perbedaan dalam menentukan status kekuatan sanad dan matan yang dijadikan rujukan hukum
  3. Perbedaan dalam memahami hadits yang sama sanad dan matannya
  4. Perbedaan dalam penggunaan ushul fiqih yang merupakan alat ishtimbat uladillah
  5. Perbedaan kondisi masyarakat tempat ulama tersebut tinggal
Perbedaan ini dapat ditolerir selama perbedaan tersebut tidak masuk pada perkara ushul, akan tetapi hanya terjadi pada perkara furuq saja. Contoh dari perkara ushul adalah tentang hukum kewajibannya shalat, puasa, zakat dan haji, sedangkan dalam pelaksaannya adalah perkara furuq yang akan terjadi perbedaan.

Maka tidak pantas bagi seorang intelek muda muslim mempermasalahkan perkara fiqih yang bersifat furuq dan menjadikan alasan untuk memecah belah umat. Dan perlu bagi seorang intelek muda muslim selalu meningkatkan kualitas keilmuaannya dengan tafaqquh fiddin. Karena dengan faqihnya generasi muda terhadap agama Islam, maka telah memberikan harapan kebangkitan bagi kaum muslimin yang lama telah terpuruk.

Semoga tulisan sederhana ini dapat memberikan inspirasi bagi para intelektual muda muslim untuk terus berkarya demi kejayaan Islam. Dan juga agar menghindarkan dirinya dari sikap taqlid buta terhadap suatu madzhab tertentu tanpa mengetahui dalil yang dijadikan rujukan.

*Penulis adalah mahasiswa Universitas Unmuh Jember FKIP PAI | Jember, Rabu 01 Januari 2014

0 comments :

Posting Komentar

Cancel Reply